TUAN GURU BAJANG ZAINUDDIN ATSANI
Lalu Gede Muhammad Zainuddin Atsani lahir dari pasangan Drs.
H. Lalu
Gede Wiresentane – Hj. Sitti
Raihanun Zainuddin Abdul Madjid (putri bungsu Maulana Syaikh TGKH.
Muhammad Zainuddin Abdul Madjid). Oleh kakeknya, yang juga merupakan pendiri
Nahdlatul Wathan (organisasi Islam terbesar di NTB), Ia diberikan nama
Zainuddin Atsani yang berarti Zainuddin Kedua, yang sejak dalam kandungan sudah
dipersiapkan untuk menjadi pengganti sekaligus pemimpin perjuangan Nahdlatul
Wathan. Dan sejak berumur 9 bulan, Ia sudah diberikan gelar Tuan Guru Bajang
oleh kakeknya.
Al-Maghfurlah Maulana Syaikh TGKH.
M. Zainuddin Abdul Madjid adalah seorang panutan, yang memegang teguh ajaran
Islam bermazhab Syafi’i. Keteguhan dalam memegang ajaran agama
diimplementasikan dalam kehidupannya, baik sebagai seorang pemimpin umat maupun
sebagai kepala rumah tangga. Bagaimanapun cintanya terhadap seseorang, namun
kalau salah menurut agama, unsur-unsur subjektivitasnya-pun tidak akan mampu
mengalahkan hukum agama yang melekat dalam dirinya.
Seperti itulah suasana keagamaan
yang dikembangkan Maulana Syaikh entah sebagai pemimpin organisasi, warga
negara, pemimpin umat, maupun sebagai kepala keluarga. Dari rahim
istri-istrinya hanya dikaruniai 2 orang putri, Hj. Rauhun dari rahim istrinya
Hj. Johariah dan Hj. Sitti Raihanun Zainuddin Abdul Majid (Ketua Umum PB NW
sekarang) terlahir dari wanita keturunan ulama asal Jenggik Lombok Timur, Hj.
Rahmatullah. Dari kedua putri tersebut terlahir 12 orang cucu laki dan
perempuan. Dan sebagai seorang ulama besar tentu merindukan seorang pengganti
yang akan meneruskan perjuangannya membesarkan organisasi. Dari semua cucunya,
Zainuddin Atsani, satu-satunya cucu yang diberikan gelar Tuan Guru Bajang oleh
Al-Maghfurlah Maulana Syaikh. Bahkan gelar tersebut diberikan sejak Zainuddin
bisa berjalan dalam usia 9 bulan. “Ia dipangil Tuan Guru Bajang oleh Tuan
Guru ( Maulana Syaikh) sejak baru bisa berjalan, dan usianya baru 9 bulan”
tutur Ummi Hj. Rahmatullah istri Maulana Syaikh yang masih hidup. Sejak itulah
Zainuddin Atsani dikenal sebagi Tuan Guru Bajang oleh masyarakat. Dan mendapat
perlakuan yang cukup positif dari jamaah. Bahkan Maulana Syaikh pernah berbicara
dihadapan jamaah pengajian “Mele mek gitak aku ke? Mek gitak wah tuan guru
bajang. Iye wah foto kopian-ku” (mau kalian lihat saya? Kalian lihat sudah
tuan guru bajang. Dia sudah foto kopian/duplikat saya).
Maulana Syaikh terkenal memiliki
tingkat keilmuan yang tinggi, yang tentu tidak mudah mengambil keputusan untuk
memberikan gelar pada seseorang. Bukan lantaran Zainuddin Atsani adalah seorang
cucu, namun karena Zainudin Atsani memang telah memiliki keunikan tersendiri
sejak masih dalam kandungan, buktinya dari 7 cucu laki-laki tidak satupun dari
mereka diberi gelar Tuan Guru Bajang kecuali Tuan Guru Bajang Zainuddin Atsani.
Rupanya gelar Tuan Guru Bajang yang
diberikan pada cucunya ini merupakan motivasi awal perkawinan antara Maulana
Syaikh dengan istrinya Hj. Rahmatullah yang konon satu-satunya istri yang
dipilihkan oleh orang tua Maulana Syaikh, TGH. Abdul Majid. Karena Hj.
Rahmatullah ini keturunan seorang ulama dengan harapan agar keturunannya nanti
bisa melahirkan seorang ulama pula. “Sejak saya berumur 10 tahun orang tua
Tuan Guru (TGH. Abdul Majid) sudah membicarakan dengan orang tua saya untuk
menikahkan saya dengan tuan guru. Padahal pada saat itu saya tidak pernah
berfikir untuk menikah, saya bilang sama TGH. Abdul Majid bahwa saya tidak akan
menikah sampai tua” tutur Hj. Rahmatullah.
Baru setelah Hj. Rahmatullah berumur
20 tahun dinikahkan dengan Maulana Syaikh dan setelah 15 tahun usia perkawinan
baru dikaruniai seorang putri, Hj. Sitti Raihanun Zainuddin Abdul Majid (ibunda
Tuan Guru Bajang KH. Lalu Gede M. Zainuddin Atsani). Pada saat Hj. Sitti
Raihanun mengidam anak-anaknya, Hj. Rahmatullah selalu mendapatkan firasat dan
pertanda bahwa Hj. Sitti Raihanun akan hamil, “setiap anakku, Hj. Sitti
Raihanun hamil selalu dijaga sama ular dan selalu saya bermimpi dan melihat
sesuatu” tuturnya. Namun yang aneh, katanya, pada Zainuddin Atsani, dia
tidak melihat apa-apa dan tidak dijaga ular seperti cucu-cucunya yang lain.
Ternyata pertanda kehamilan itu diketahui oleh Maulana Syaikh. Kala itu Maulana
Syaikh memerintahkan Hj. Rahmatullah untuk membuka semua jahitan pakaian Hj.
Sitti Raihanun. “Saya disuruh untuk melepaskan semua jahitan pakaian yang
biasa dikenakan Hj. Sitti Raihanun untuk disimpan, Raihanun akan hamil tolong
lepaskan semua jahitan pakaian yang dikenakannya dan disimpan” tutur Hj.
Rahmatullah meniru perkataan suaminya.
Zainuddin Atsani lahir pada tanggal
6 Januari 1981 di Rumah Desa (Gedeng Dese) yang juga tempat lahirnya Maulana
Syaikh. Beliau terlahir dari pasangan Drs. H. Lalu Gede Wiresentane – Hj. Sitti
Raihanun Zainuddin Abdul Madjid (putri bungsu Maulana Syaikh). Ketika itu,
Zainuddin Atsani lahir dalam keadaan bersih tanpa darah. Maulana Syaikh
langsung menimangnya sambil memperhatikan seluruh badan cucunya. Hal ini
berlangsung selama beberapa hari sebelum diberikan nama. Tidak lama kemudian
Hj. Rahmatullah dipanggil Maulana Syaikh, “ni wah pengentikku, iye taok jak
turunan aranku, Zainuddin Atsani ye jari aranan” (ini sudah yang akan
menggantikan saya, dialah tempatnya akan turun nama saya, Zainuddin Atsani
itulah jadi namanya) tutur Hj. Rahmatullah lagi-lagi menirukan perkataan
Maulana Syaikh.
Oleh Maulana Syaikh, Hj. Rahmatullah
diminta untuk menyampaikan kepada Hj. Sitti Raihanun “Badaq Sitti Raihanun,
ni wah penggentikku, Zainuddin Atsani iye arane. Suruk Sitti Raihanun badaq
Wiresentane” (Beritahu Sitti Raihanun, ini sudah penggantiku, Zainuddin
Atsani itulah jadi namanya. Suruh Sitti Raihanun memberitahu Wiresentane).
Setelah Drs. H. Lalu Gede Wiresentane mendapat pesan dari Maulana Syaikh,
beliau menjawab “Napi-napi pekayun Maulana Syaikh, tiang terima dengan
ikhlas” (Apapun yang disampaikan oleh Maulana Syaikh, saya terima dengan
ikhlas). Hal ini menunjukkan ketaatan dan kehormatan Drs. H. Lalu Gede
Wiresentane kepada Maulana Syaikh. Akhirnya putra Drs. H. Lalu Gede Wiresentane
diberikan nama Muhammad Zainuddin Atsani. Akan tetapi karena Drs. H. Lalu Gede
Wiresentane merupakan keturunan bangsawan dari Bonjeruk, maka ditambahkanlah
kata “Lalu” dan “Gede”, sehingga menjadi Lalu Gede Muhammad Zainuddin Atsani.
Pembangunan MAK Pancor
Suatu ketika, disaat persiapan
pembangunan MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan) di Pancor, H. Muksin Makbul
menghadap kepada Maulana Syaikh untuk menyampaikan dana pembangunan MAK di
Pancor. Pada saat itu, Maulana Syaikh dalam bahasa Sasak mengatakan “Wah
anta laporan tipak tuan guru bajang? Lapor juluk ito, dait berunding kanca tuan
guru bajang!” (Sudah anda melaporkan ke tuan guru bajang? Lapor dulu sana,
dan berdiskusi dengan tuan guru bajang!).
Peristiwa Kebon Ayu
Pada suatu ketika, Maulana Syaikh
akan mengadakan pengajian sekaligus meresmikan sebuah madrasah di desa Kebon
Ayu – Gerung – Lombok Barat. Akan tetapi, oleh Bupati Lombok Barat, yang pada
saat itu dijabat oleh H. L. Mujitahid, Maulana Syaikh dilarang mengadakan
pengajian di desa Kebon Ayu dengan alasan orang-orang Kebon Ayu tidak setuju.
Akan terjadi keributan jika sampai Maulana Syaikh mengadakan pengajian.
Kebetulan tokoh penentang itu bernama Amaq Ribut. Untuk membahas masalah ini,
Pengurus Daerah NW Kabupaten Lombok Barat dipanggil oleh Bupati Lombok Barat.
Hadir dalam pertemuan itu antara lain Bupati, Muspida, Dandim, serta Kapolres
Lombok Barat. Dihadapan peserta yang hadir, Bupati mengatakan agar Maulana
Syaikh jangan sampai pergi ke Kebon Ayu untuk menghadiri pengajian tersebut,
dan tidak akan bertanggung jawab terhadap keselamatan Maulana Syaikh jika
sampai terjadi apa-apa di Kebon Ayu.
Akan tetapi, pada hari-H, Maulana
Syaikh tetap berangkat ke Kebon Ayu. Bersama rombongan, Maulana Syaikh
berangkat dari rumah Pajang. Beberapa orang yang turut serta dalam mobil
rombongan Maulana Syaikh diantaranya Drs. H. Alidah Nur, H. Sulaeman, H. Yahya,
H. Sabir, H. Mustafa dan Tuan Guru Bajang yang duduk dalam pangkuan Maulana
Syaikh. Pada saat itu, Tuan Guru Bajang masih sangat kecil.
Dalam perjalanan ke Kebon Ayu,
terlihat disepanjang jalan penjagaan sangat ketat. Tentara disebar sepanjang
jalan setiap kurang lebih 40 meter. Hal ini dilakukan agar jangan sampai
Maulana Syaikh sampai ke Kebon Ayu. Begitu pula dengan orang-orang yang
berkendara/berjalan ke arah Kebon Ayu, yang menggunakan peci ataupun pakaian
seakan-akan pergi pengajian, pasti akan dicegat oleh aparat yang berjaga. Akan
tetapi, berkat kekeramatan Maulana Syaikh dan atas pertolongan Allah SWT, tidak
ada satupun aparat dan Muspida (yang berjaga disepanjang jalan) melihat mobil
Maulana Syaikh. Sesampainya Maulana Syaikh dilokasi pengajian, jamaah
bertangisan karena menyangka Maulana Syaikh tidak akan datang karena situasi
yang sedang genting. Dihadapan jamaah pengajian, Maulana Syaikh sambil memangku
Tuan Guru Bajang, berulang-ulang kali mengatakan “kacang arane ine, lemak
lamun uwah beleq tuan guru bajang sine, mesak-mesakne ngadepin sak ngene-ngene”
(kacang namanya ini, besok kalau sudah besar tuan guru bajang ini, sendirian
dia akan menghadapi yang seperti ini).
Malam wafatnya Maulana Syaikh
Pada malam wafatnya Maulana Syaikh
(maghrib, malam rabu), duduk dihadapan pembaringan Maulana Syaikh, Drs. H. Lalu
Gede Wiresentane, H. Maksum, dan Drs. H. Alidah Nur. Sedangkan Tuan Guru Bajang
yang kala itu tengah beranjak remaja, duduk disamping pembaringan Maulana
Syaikh hingga larut malam. Tiba-tiba Hj. Rahmatullah (Ninik Tuan Guru Bajang)
memanggil Tuan Guru Bajang “Gede wah jauk malem ne, bekelor juluk jauk malem
ne” (Gede sudah larut malam ini, makan dulu sudah larut malam ini). Lantas
Tuan Guru Bajang menjawab “Nggih, masih ne tiang ngantih juluk, masih ndekne
man” (Iya, masih ini saya menunggu dulu, masih belum), tanpa sedikitpun
beranjak dari pembaringan Maulana Syaikh.
Menurut penuturan saksi mata yang
hadir pada saat itu, posisi duduk Tuan Guru Bajang di samping pembaringan
Maulana Syaikh, Tuan Guru Bajang duduk dengan menekukkan kaki kebelakang
(seperti posisi tahiyat awal) sembari mendekatkan mukanya berhadap-hadapan
dengan muka Maulana Syaikh. Dan beberapa kali kaki Maulana Syaikh terlihat
bergerak-gerak.
Riwayat pendidikan
Riwayat pendidikan Raden Tuan Guru
Bajang KH. Lalu Gede M. Zainuddin Atsani Lc., M.Pd.I. juga sama dengan riwayat
pendidikan Maulana Syaikh sebagai alumnus Madrasah As-Shaulatiyah Makkah
Al-Mukarramah pada tahun 2007. Gelar Lc diraih di Universitas Jami’atul Ulum
Waa Technologyiah Yaman, Jurusan Syari’ah Islamiyah pada tahun 2007. Pada tahun
2011, beliau berhasil meraih gelar Magister Pendidikan Islam di Universitas
Darul Ulum Jombang. Dan saat ini, beliau sedang menempuh pendidikan S3 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kiprah Raden Tuan Guru Bajang
Sebagai tokoh sentral organisasi
dalam mengembangkan organisasi Nahdlatul Wathan, Raden Tuan Guru Bajang KH.
Lalu Gede M. Zainuddin Atsani mendapatkan kepercayaan di berbagai posisi
penting, antara lain:
- Penasehat Ikatan Pelajar Nahdlatul Wathan Kabupaten Lombok Barat tahun 1995,
- Ketua Ikatan Pelajar Mahasiswa Nahdlatul Wathan Makkah tahun 2001-2007,
- Wakil Ketua Yayasan Al-Masyhur NW Praya tahun 2007 – sekarang,
- Pimpinan KBIH NW Mataram tahun 2009 – sekarang,
- Wakil Ketua Yayasan Pondok Pesantren Syaikh Zainuddin NW Anjani tahun 1999-2011,
- Sekretaris Persatuan Alumni As-Shaulatiyah NW (PAS NW) tahun 2011 – sekarang,
- Sekretaris Yayasan Pondok Pesantren Syaikh Zainuddin NW Anjani tahun 2011 – sekarang,
- Rektor IAIH NW Lombok Timur tahun 2012 – sekarang,
- Ketua Pengurus Wilayah NW NTB periode 2012-2017.
Kehadiran Raden Tuan Guru Bajang KH.
Lalu Gede M. Zainuddin Atsani dalam melanjutkan perjuangan Al-Maghfurlah dalam
membesarkan organisasi membuat jamaah NW merasa memiliki kekuatan baru. Bagi
beliau, organisasi NW merupakan amanah yang harus tetap dijaga dan dikembangkan
sesuai dengan khittah yang telah ditetapkan Al-Maghfurlah. “Saya berharap
warga NW tetap bersatu merapatkan barisan dibawah ketua umum PB yang sah, Hj.
Sitti Raihanun Zainuddin Abdul Majid, sesuai wasiat ninik. PB itu satu bukan
dua atau tiga, itu yang harus kita pegang teguh sebagai warga NW” ingat
Tuan Guru Bajang KH. Lalu Gede M. Zainuddin Atsani dalam setiap pengajiannya.
0 comments: