Assalamualaikum,Wr,Wb.Selamat datang semeton lek blog tiang sak sederhana niki, semoga arak manfaat tipak pelungguh, lamun arak komentar sak sifatne membangun, tiang ucapin terimakasih
latest articles

CARA AKTIVASI VIDEOSCRIBE SPARKOL

Proses Aktivasi Videoscribe Sparkol

Kembali ke file yang dimiliki tadi silahkan salin file crack


Silahkan salin untuk di tempel di folder "C:\Program Files\Sparkol\Sparkol Videoscribe"


Klik Copy and Replace


Selesai sudah proses aktivasi.

Membuka Sparkol Videoscribe

Silahkan menuju dekstop dan lihat icon atau shorcut Sparkol, kemudian double klik.

Cara Install Videosribe Sparkol Offline


Klik Ceklish, dan sobat sudah dapat menggunakan program aplikasi Sparkol.

Cara Install Videosribe Sparkol Offline

Untuk download filesparkol nya di sini
Read more

BUKU PELAJARAN AGAMA AQIDAH DAN ILMU HADIST TERBARU SESUAI KM 183 TAHUN 2019


KMA Nomor 183 Tahun 2019 Tentang Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) dan Bahasa Arab merupakan regulasi terbaru yang dikeluarkan untuk mengganti dari peraturan sejenis sebelumnya yaitu KMA Nomor 165 Tahun 2013, Selain itu juga KMA Nomor 183 Tahun 2019 dimaksudkan untuk memperkuat implementasi Kurikulum di Madrasah.
Bagi Guru-Guru dan siswa siswi memerlukan Buku Paket Aqidah Ahlak dan Ilmu Hadist tingkat Aliyah dapat mengunduh Buku dengan Klik Download


Read more

RPP MAPEL AQIDAH AHLAK.XII.MAN 1 BIMA


DOWNLOAD FILE DENGAN KLIK LINK 
Read more

Kitab Syarah Ta'limul Muta'allim fi Bayani Thariqit Ta'allum ini merupakan syarah Syaikh Ibrahim bin Ismail dari dari Kitab Ta'lim yang ditulis oleh Syaikh Zarnuji. Para santri pasti mengenal kitab ini. Bila tidak, ia harus mengulang ngajinya hingga khatam memahami kitab Ta'lim Muta'allim ini.

Di Bab awal, Kitab Ta'lim Muta'allim menjelaskan keistimewaan ilmu daripada lainnya. Setelah itu, pengarang menjelaskan niat mencari ilmu, cara mencari ustadz yang baik, cara menghormati para pemilik ilmu lalu beranjak kepada motivasi rajin membaca, muthala'ah kitab dan lainnya.

Di akhir bab, selain tawakkal dan wira'i, Syarah Ta'lim juga menjelaskan lebih detail tentang waktu-waktu yang baik untuk memulai belajar dan bagaimana cara agar rezeki cepat datang. Bab rezeki ini ditaruh paling akhir karena bagian dari cara bertahan hidup seorang santri, hingga kini.
Anda Bisa dowload di link bawah
semoga bermanfaat
setelah dipelajari harus di amalkan, karna ilmu tanpa di amalkan bagaikan pohon tiada berbuah
https://drive.google.com/drive/folders/1IxTDIUmkCwBzIK9hWGvfLw837X9SgMud?usp=sharing
Read more

PERISTIWA TAHKIM



Peristiwa Tahkim atau Arbitrase
(bahasa Arab: التحكيم أو تحكيم القرآن) adalah sebuah istilah untuk sebuah kejadian sejarah yang berhubungan dengan Perang Shiffin. Dalam kejadian ini Abu Musa al-Asy'ari merupakan perwakilan dan juri bagi pasukan Kufah (pasukan Imam Ali as) dan Amru bin 'Ash merupakan perwakilan dari pihak pasukan Syam (pasukan Muawiyah). Kedua perwakilan ini melakukan perundingan untuk menyelesaikan perbedaan antara kaum muslimin satu dengan lainnya dan kedua pihak sepakat untuk memberikan pendapat sesuai dengan Alquran dan hadis. Usulan perundingan diajukan dengan tipu daya Amru bin 'Ash dan Muawiyah dalam rangka menyelamatkan pasukan mereka dari pasukan Imam Ali as. Sebenarnya Imam Ali as dari awal sudah menentang perundingan ini. Pasukan Syam ketika melihat mereka mulai terdesak dan hampir mengalami kekalahan, mereka menancapkan Alquran di ujung tombak dan meneriakkan syiar-syiar; bahwa hendaklah Alquran harus menjadi hakim bagi kedua pihak. Mengingat Amru bin 'Ash perwakilan dari Syam berhasil dan mampu mengelabui Abu Musa al-Asy'ari serta melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kesepakatan dengan memperkenalkan Muawiyah sebagai khalifah, maka perundingan pun tidak memberikan hasil dan hanya bisa menyelamatkan pasukan Syam dari kekalahan.
Latar Belakang
Artikel utama: Perang Shiffin
Pasukan Muawiyah mendapatkan serangan hebat dari pasukan Malik Asytar, mereka merasakan akan mendapat kekalahan. Untuk bisa keluar dari kondisi ini Muawiyah datang menemui Amru bin 'Ash.[1] Maka dengan usulan Amru bin 'Ash dan perintah Muawiyah, pasukan Syam menancapkan tombak ke Alquran dan meneriakan yel-yel; wahai penduduk Irak! Hakim antara kita adalah Tuhan. Bala tentara Syam juga datang dengan berteriak: "Wahai kelompok Arab! Pikirkanlah anak-anak dan istri-istri kalian, jika kalian terbunuh, besok siapa yang akan berperang melawan kaum Romawi, Turki dan Persia?!" [2]
Kekacauan Kubu Pasukan Imam Ali as
Dengan tipu daya yang dilancarkan oleh Amru bin 'Ash dan Alquran ditancapkan di ujung tombak, muncullah dua kelompok dalam pasukan Imam Ali as dimana sebagian dari mereka ada yang menerima perdamaian yang diajukan oleh musuh dengan mengangkat Alquran dan kita tidak memiliki hak untuk berperang. Imam Ali as dengan tegas menentang kelompok ini dan mengumumkan bahwa perbuatan ini tidak lain kecuali hanya tipu daya. Akan tetapi dengan terpaksa Imam Ali as menerima ajuan perdamaian Qurani ini dengan mengirimkan surat kepada Muawiyah dengan catatan bahwa anda (sebenarnya) bukanlah ahli Quran.[3]
Penunjukkan Wakil
Penduduk Syam memilih Amru bin 'Ash sebagai perwakilan mereka dalam perundingan, sementara terjadi perselisihan dalam penentuan wakil di dalam kubu pasukan Irak dan pasukan Imam Ali as. Asy'ats bin Qais al-Kindi dan sejumlah orang lainnya yang kemudian hari mereka menjadi kelompok Mariqin mengajukan Abu Musa al-Asy'ari sebagai perwakilan perundingan. Akan tetapi Imam Ali as mengajukan Ibnu Abbas dan Malik Asytar sebagai perwakilan namum Asy'ats dan para pengikutnya tidak menerima ajuan dari Imam Ali as dengan alasan bahwa Malik Asytar lebih cenderung untuk memilih berperang dan Ibnu Abbas pun tidak bisa diterima sebab karena Amru bin 'Ash adalah dari kabilah Mudhari, maka lawannya haruslah dari orang Yaman. [4]
Kerangka Peristiwa Arbitrase
Kedua perwakilan mengambil keputusan bahwa Amru bin 'Ash harus menurunkan Muawiyah dan Abu Musa al-Asy'ari harus menurunkan Imam Ali as dari kursi kekhalifahan dan akan dipilih oleh musyawarah. Amru bin 'Ash menyuruh Abu Musa al-Asy'ari untuk mengumumkan hasil musyawarah dan Abu Musa al-Asy'ari yang pertama harus mengumumkan pengunduran Imam Ali as. Akan tetapi ketika sampai giliran Amru bin 'Ash, bukannya mengumumkan pengunduran Muawiyah ia malah menyetujui pengumuman Abu Musa al-Asy'ari dalam pengunduran Imam Ali as dan mengangkat Muawiyah menjadi khalifah. Setelah itu terjadi percekcokan antara keduanya sehingga mengeluarkan kata-kata yang tidak layak. [5] [6]
Menurut riwayat Ya'qubi, julukan Amirul Mukminin di lekatkan kepada Imam Ali as ketika penulisan surat perjanjian damai antara para utusan kedua pasukan, terjadilah perdebatan dimana Asy'ats adalah termasuk salah seorang yang menginginkan julukan ini dihapus dalam surat tersebut dan Malik Asytar mengajukan protes keras.[7] Tanggal Arbitrase pun ditentukan hingga akhir bulan Ramadhan. [8] dan kota Daumatu al-Jandal ditetapkan menjadi tempat arbitrase tersebut. [9] Isi dan kandungan dari surat perjanjian damai tersebut adalah:

  • Kedua pihak harus rela dengan apa yang diputuskan oleh Alquran dan merujuk kepadaNya pada masalah-masalah yang diperdebatkan.
  • Imam Ali as dan pengikutnya harus memilih Abu Musa al-Asy'ari sebagai pengawas dan hakim. Begitu juga Muawiyah harus memilih Amru bin 'Ash.
  • Jika dalam Alquran tidak ditemukan penyelesaian dari perbedaan yang terjadi, hendaklah merujuk kepada Sunah dan perbuatan Nabi saw.
  • Tidak akan menyinggung hal-hal yang menyebabkan perpecahan dan tidak mengikuti hawa nafsu.
  • Nyawa,harta dan harga diri kedua perwakilan harus terjaga selama tidak melewati batasan haknya.
  • Jika salah seorang dari kedua perwakilan meninggal dunia sebelum menjalankan tugasnya, maka pemimpin dari kedua pihak hendaklah memilih salah seorang sebagai penggantinya.
  • Jika salah satu dari pemimpin kedua kelompok meninggal dunia, maka pengikut kelompok tersebut memilih salah seorang untuk menjadi penggantinya.
  • Jika kedua perwakilan tidak melaksanakan apa yang menjadi sumpahnya, maka umat berhak untuk tidak mengikutinya.
  • Mulai dari dibuatnya surat perjanjian damai sampai masa waktunya berakhir, maka nyawa, harta dan harga diri masyarakat tetap terjaga dan aman.
  • Seluruh senjata harus disimpan (tidak digunakan) sampai masa akhir perjanjian dan setiap jalan haruslah aman; dalam masalah ini, tidak ada perbedaan antara yang hadir maupun yang tidak hadir diwaktu perjanjian perdamaian.
  • Kedua perwakilan harus tinggal di tempat antara Irak dan Syam, selain orang-orang yang diperkenankan oleh mereka, tidak seorangpun berhak hadir disana.
  • Jika kedua perwakilan tidak melaksanakan apa yang ada pada Alquran dan Sunah Nabi saw, maka kaum muslimin akan melanjutkan peperangan mereka dan sama sekali tidak ada kesepakatan antara mereka. [10]


Tindakan dan Nasehat-nasehat Imam Ali 
Imam Ali as mengutus empat ratus komandan yang dipimpin oleh Syarih bin Hani untuk menemani Abu Musa al-Asy'ari untuk melakukan perdamaian serta mengutus Abdullah bin Abbas untuk menjadi Imam salat berjamaah. Selain itu juga beliau memberikan nasehat dan pengarahan kepada Abu Musa al-Asy'ari tentang keburukan Muawiyah.[11]
Hasil Arbitrasi Abu Musa
Abu Musa al-Asy'ari membuahkan hasil perundingan damai dengan kedua pemimpin yaitu Muawiyah dan Imam Ali as melepaskan kedudukannya dan kedua-duanya sama-sama tidak lagi menjadi pemimpin. Amru bin 'Ash juga (secara dhahir) menerima masalah ini, akan tetapi untuk merealisasikan strateginya dia pertama menerima Abu Musa Asy'ari dan menjadikannya orang pertama yang mengumumkan hasil perundingan. Ibnu Abbas banyak melakukan usahanya agar Amru bin 'Ash yang pertama mengumumkan hasil perundingan, akan tetapi Abu Musa tidak mengerti peringatan yang diberikan oleh Ibnu Abbas tentang tipu daya yang dilakukan oleh Amru bin 'Ash, Abu Musa berkata: "Aku dan Amru bin 'Ash sudah sepakat".[12] Abu Musa naik ke atas mimbar dan berkata: "Wahai masyarakat! Supaya kaum muslimin merasakan ketenangan dan pandangannya tidak bingung dan tidak menjadi dua kelompok, aku telah sepakat dengan Amru bin 'Ash untuk menurunkan Muawiyah dan Ali dari kursi kepemimpinan sehingga kaum muslimin dapat membentuk lembaga permusyawaratan dan memilih orang yang memiliki kelayakan dan keahlian menjadi seorang khalifah. Maka aku (sebagai perwakilan masyarakat Hijaz dan Irak) sebagaimana aku telah mengeluarkan cincin dari tanganku, aku juga akan menurunkan Ali dari kursi kepemimpinan.[13] Kemudian dia turun dari mimbar dan giliran Amru bin 'Ash naik ke atas mimbar, dia mengumumkan: "Aku sudah mendengar apa yang telah disampaikan oleh Abu Musa Asy'ari, ia hanya memiliki hak untuk menurunkan Ali dan aku dalam masalah ini sepakat dengannya. Akan tetapi seperti halnya cincinku masih di tangan, maka aku akan menyerahkan kursi kekhalifahan ini kepada Muawiyah. Karena selain dia memiliki kelayakan dalam urusan ini, ia juga masih menjadi wali dan pengusut darah Utsman. Abu Musa marah dengan tipu daya yang dilakukan oleh Amru bin 'Ash dan berkata kepadanya: "Wahai tukang tipu daya yang fasik! Sesungguhnya perumpamaanmu adalah bagaikan anjing; baik dipukul ataupun dilepaskan ia tetap menggonggong"[14] . Amru bin 'Ash menjawab: "Engkau bagaikan keledai yang membawa buku (asfar)". [15] [16].
Munculnya Khawarij
Artikel utama: Khawarij
Dengan demikian, tanpa ada pembicaraan tentang Alquran dan Sunah Nabi saw, kejadian perundingan damai pun menjadi sumber perpecahan lain antara masyarakat Syam dan Irak.[17] Hasil terpenting dari Arbitrasi ini bagi masyarakat Syam dikemudian hari adalah masyarakat Syam menganggap Muawiyah sebagai Amirul Mukminin. [18]
Sekelompok dari pengikut Imam Ali as dari awal penentangan dengan perundingan damai dan menganggap bahwa hal itu langkah mundur dari agama dan keraguan dalam iman. [19] Sebagian juga dengan alasan dua ayat Alquran (Al-Maidah: 44 dan Hujurat: 9) menginginkan berlanjutnya perang dengan Muawiyah dan menganggap kafir bagi siapa saja yang menerima perundingan damai serta hendak segera bertaubat. Mereka menginginkan dari Imam Ali as untuk bertobat dari kekufuran ini dan membatalkan semua syarat yang diajukan oleh Muawiyah. Akan tetapi Imam Ali as tidak menerima untuk menolak perundingan damai. Setelah berakhirnya perang dan kembalinya Imam Ali as ke Kufah dan Muawiyah ke Syam, para penentang perundingan damai berpisah dari Imam Ali as dan pergi ke kawasan Harura' dekat dengan kota Kufah. [20]
Read more

BUKU AQIDAH AHLAK MADRASAH ALIYAH K.13

Buku kela XI
 Download


Buku Kelas X
Download


Buku Kelas XII

Download
Read more

KESEDIHAN ALAM SEMESTA UNTUK KESEKIAN KALINYA

15 tahun yang lalu tepatnya 15 Ramadhan 1425 H atau 29 Oktober 2004 telah wafat seorang ulama besar Ahli Hadits Al 'Alim Al 'Allamah Prof. Dr. Abuya as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani, Makkah, Saudi Arabia.

Waktu itu malam Jum'at murid dan kerabat beliau berkumpul di rumah sakit. Wajah beliau tidak berubah, tetap gembira, seperti tidak sedang sakit. “Sekitar jam 20.00. dokter datang, dan mengatakan Abuya sudah sembuh. Kami semua memekik, Allahu Akbar!”

Di luar rumah sakit sesaat kemudian, Sayyid Muhammad al-Maliki meminta izin kepada dokter untuk menengok keluarga dan murid-muridnya. Tepat jam 00.00, beliau keluar dari rumah sakit. Sebelum masuk ke mobil, Abuya menghadap ke langit selama dua menit. Bilal, salah satu muridnya bertanya: “Ada apa, Abuya?”

Abuya al-Maliki menjawab: “Tidak ada apa-apa.”

Saat itu, seharusnya bulan sedang purnama sangat indah, namun malam itu justru tertutup awan. “Sebelumnya dalam beberapa hari terakhir, beliau selalu meminta agar murid-muridnya melihat bulan, dan bertanya apakah bulan sudah kelihatan ?”

Dari rumah sakit, beliau tidak langsung ke rumah, tapi ke pondok pesantren, untuk menemui murid-murinya. Saat itu jam 03.00. “Saya sendiri yang membukakan pintu gerbang. Setelah itu, datang Sayyid Abbas, adiknya, bersama keluarga yang lain. Kami bersama-sama membaca qasidah, lalu terlibat dalam obrolan yang sesekali diselingi dengan tertawa lebar”, cerita Habib Hamid murid Abuya sambil mengenang peristiwa penting itu.

Pertemuan malam itu, katanya, diakhiri dengan sahur bersama. Sebelumnya, Abuya sempat bertemu kakaknya dan bikin perjanjian untuk berbuka puasa hanya dengan tiga buah kurma dan air zamzam. “Pas jam 04.00, beliau meminta semuanya istirahat dan bersiap shalat Shubuh. Beliau sendiri masuk ke kamar kerjanya.”

Di kamar itu, beliau ditemani Bilal dan Burhan. Tapi Bilal diminta keluar kamar. Saat itulah, Sayyid Muhammad al-Maliki tiba-tiba bertanya kepada Burhan. “Hai, Burhan. Aku sebaiknya istirahat di kursi atau di bumi (maksudnya karpet) ?”

“Terserah Abuya.” Sahut Burhan bingung, karena tidak tahu harus menjawab Abuya. Bagaimana mungkin seorang murid memutuskan sesuatu untuk gurunya ?

“Saya akan istirahat di bumi saja.” Kata Sayyid Muhammad al-Maliki.

Beliau kemudian duduk menghadap kiblat dan bersandar. Sesaat, sempat mengambil Kitab dari tangan Burhan. Tapi kemudian, diletakkan di meja, lalu beliau menengadah menyebut, “Lailaaha illallah….”

“Innalillahi wainna ilaihi raji’un...” hanya itu yang terucap dari mulut Burhan. Hari Jum'at tepat tanggal 15 Ramadhan 1425 H atau 29 Oktober 2004, saat pagi mulai membuka kehidupan, Sayyid Muhammad bin Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani telah wafat. Jenazah almarhum langsung dibawa ke rumah sakit. Dokter menyuruh semua keluarga dan murid-murid beliau untuk pulang ke Pondok Pesantren.

Tepat seusai shalat Shubuh, ambulan rumah sakit yang membawa jenazah Abuya, tiba di kediaman beliau. Beliau dimakamkan di pemakaman al-Ma’la di samping makam istri Rasulallah Saw. Sayyidatina Khadijah binti Khuailid Radhiyallahu'anhu.  Begitu mendengar berita duka dari mulut ke mulut, ribuan masyarakat pencinta beliau panik. Mereka kalang-kabut dan berbondong-bondong menyerbu rumah kediaman beliau untuk menyaksikan kebenaran wafatnya beliau yang secara mendadak. Karena mereka hampir tidak percaya dengan berita itu. Suasana pun tambah panik lagi pagi itu setelah jasad Almarhum dibawa dari rumah sakit ke rumah beliau.

Ribuan orang berduyun-duyun ke rumah beliau ingin menyaksikan jenazah Almarhum secara langsung. Kepanikan warga Makkah itu membuat macet lalu-lintas. Jalan menuju kampung al Rashifah, rumah kediaman beliau, dipadati kendaraan dan manusia.

Ilaa hadhrotinnabiyil Musthofa Rosulillah Shollallohu ‘Alaihi Wasallam, wa ila ruuhi Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki qoddasallahu sirrohu wanawwaro dloriihahu, al-Fatihah...
Read more